Saturday, March 1, 2014

Karyono: Independensi Media Massa Suatu Keharusan

Iklim demokrasi di indonesia pasca Reformasi 1998 sangat di pengaruhi oleh media. Baik dan buruknya tindakan tergantung kemasan media yang dibuat. Termasuk dinamika perjalanan partai politik bukan lagi soal positioning ideologi, namun lebih mengarah pada populisme dan pengaruh opini publik melalui media massa. Idiologi suatu partai politik saat ini sudah tidak laku untuk di jual.

Tingginya pengaruh media massa dalam menggiring opini publik membuat ideologi partai politik tidak lagi menjadi sesuatu kekuatan yang mampu menarik pemilih. Terlebih, apabila pemilik media massa jatuh ke tangan praktisi politik, sehingga permainan opini sudah tidak dapat dihindari. Media massa kini sudah menjadi kendaraan perang dalam konstelasi politik. Media massa digunakan sebagai ajang pencitraan publik, meruntuhkan popularitas lawan politik, dan mampu menjadi alat counter attack bagi serangan-serangan politis. Keadaan seperti ini membuat ideologi menjadi tersingkirkan dan secara tidak langsung sudah tidak lagi berpengaruh bagi penguatan citra partai.

Ketika media massa sudah dijadikan alat perang dan ideologi sudah dianggap tidak mampu memobilisasi massa, maka mereka yang mampu melakukan pencitraan dan propaganda politik melalui media massa adalah dia yang akan menang.

Tingginya pengaruh media massa dalam menggiring opini dan memobilisasi massa tentu semakin membuah arah kebijakan menjadi tidak jelas dan menimbulkan masa depan kebijakan politik yang tidak menyehatkan. Karena, apabila sudah seperti itu, praktisi politik hanya memikirkan bagaimana permainan opini untuk ke depan, bukan untuk memikirkan arah kebijakan suatu negara.

Kekhawatiran akan kurang baiknya masa depan politik di Indonesia semakin muncul ketika beberapa media elektronik memberitakan informasi yang semakin dipengaruhi oleh kepentingan politis, karena ketika informasi yang menyebar ke masyarakat berdasarkan hasil olah kepentingan politis, tentu akan berakibat pada perbedaan yang kontradiktif antara persepsi masyarakat dengan realitas yang ada. Hal tersebut membuat posisi kebenaran dan kesalahan menjadi sulit untuk diidentifikasi. Tingginya pengaruh media massa dalam konstelasi politik telah memberikan nilai negatif bagi pandangan sebuah fenomena di masyarakat. Padahal, makna “pengaruh” dalam studi ilmu politik bukan hanya diperuntukan dalam maksud untuk memobilisasi massa, namun apabila telah masuk ke ranah konflik, media massa pun mampu memberi pengaruh yang kuat dalam mengaburkan kebenaran dan kesalahan.

Kaburnya positioning ideologi dan semakin kuatnya peran media dalam mempermainkan opini publik semakin membuat kualitas demokrasi menjadi tidak sehat. Apabila opini yang dibangun bertolak belakang dari fakta yang ada, maka akan melahirkan peluang perbuatan tercela, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme semakin besar, karena antara kebenaran dan kesalahan menjadi sulit dilihat. Lantas mau dibawa ke mana Negara ini?

Termasuk di Riau, politik pencitraan yang bertumpu pada publikasi media menjadi sarana politik bagi para penguasa untuk mendapatkan hati dan simpatik masyarakat.

Media massa kini sudah mengganti peran ideologi dalam menentukan arah segmentasi pemilih. Hal tersebut juga mengiringi perjalanan politik Indonesia yang memiliki harga demokrasi yang cukup mahal. Tuntutan akan tingginya ongkos kampanye membuat politisi segera memikirkan cara mendapatkan stok anggaran kampanye setiap menjelang pemilu. Salah satu cara yang paling populer adalah dengan membangun kerja sama dengan elite kapital atau pemilik modal.

Untuk bisa melakukan serangan udara melalui media massa membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karenanya membangun komunikasi dengan para pemilik modal dinilai sebagai solusi alternatif. Melalui simbiosis mutualisme yang dilakukan antara pemilik modal dengan politisi membuat citra demokrasi Indonesia amatlah transaksional dan partai politik sangat bergantung pada sumbangan pihak ketiga dalam melakukan kampanye politiknya.

Untuk itu, pendidikan politik yang sehat mutlak dilakukan. Masyarakat jangan lagi menjadi korban dari pencitraan semu. Masyarakat harus ditempatkan sebagai mitra perjuangan dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik. Sudah saatnya media harus netral dan tidak lagi menjadi alat politik dari golongan atau partai tertentu dalam menghegemoni masyarakat tanpa adanya bukti nyata pada kesejahteraan dan tatanan hidup masyarakat yang adil, dan bermartabat.